Kamis, 30 Desember 2010

Why not the best???

Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya ....

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht , Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.

Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.

Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? '' Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadwal Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.
''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.

Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.

Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku!'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.'' Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan . Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan ?'' Saya diam saja.

Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat.
Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma kamboja.
Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. .....

-- Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.
-- Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.
-- Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu.
-- Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.
-- Pelajaran yang sangat menyedihkan.

JANGAN PUTUS ASA

Suatu hari aku memutuskan untuk berhenti.
Berhenti dari pekerjaanku,
Berhenti dari hubunganku dengan sesama dan berhenti dari spiritualitasku.
Aku pergi ke hutan untuk bicara dengan Tuhan untuk yang terakhir kalinya. "Tuhan", kataku. "Berikan aku satu alasan untuk tidak berhenti?"
Dia memberi jawaban yang mengejutkanku. "Lihat ke sekelilingmu", kataNya. "Apakah engkau memperhatikan tanaman pakis dan bambu yang ada di hutan ini?" "Ya", jawabku.
Lalu Tuhan berkata, "Ketika pertama kali Aku menanam mereka, Aku menanam dan merawat benih-benih mereka dengan seksama. Aku beri mereka cahaya, Aku beri mereka air, dan pakis-pakis itu tumbuh dengan sangat cepat. Warna hijaunya yang menawan menutupi tanah, namun tidak ada yang terjadi dari benih bambu, tapi Aku tidak berhenti merawatnya."
"Dalam tahun kedua, pakis-pakis itu tumbuh lebih cepat dan lebih banyak lagi. Namun, tetap tidak ada yang terjadi dari benih bambu, tetapi Aku tidak menyerah terhadapnya.”
"Dalam tahun ketiga tetap tidak ada yang tumbuh dari benih bambu itu tapi Aku tetap tidak menyerah. Begitu juga dengan tahun ke empat.
"Lalu pada tahun ke lima sebuah tunas yang kecil muncul dari dalam tanah.
Bandingkan dengan pakis, yang kelihatan begitu kecil dan sepertinya tidak
berarti. Namun enam bulan kemudian, bambu ini tumbuh dengan mencapai ketinggian lebih dari 100 kaki. Dia membutuhkan waktu lima tahun untuk menumbuhkan akar-akarnya. Akar-akar itu membuat dia kuat dan memberikan apa yang dia butuhkan untuk bertahan. Aku tidak akan memberikan ciptaanku tantangan yang tidak bisa mereka tangani.”
"Tahukah engkau anakKu, dari semua waktu pergumulanmu, sebenarnya engkau sedang menumbuhkan akar-akarmu? Aku tidak menyerah terhadap bambu itu, Aku juga tidak akan pernah menyerah terhadapmu. "

Tuhan berkata, "Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Bambu-bambu itu memiliki tujuan yang berbeda dibandingkan dengan pakis tapi keduanya tetap membuat hutan ini menjadi lebih indah."
"Saatmu akan tiba", Tuhan mengatakan itu kepadaku. "Engkau akan tumbuh sangat tinggi."
Seberapa tinggi aku harus bertumbuh Tuhan?" tanyaku. "Sampai seberapa tinggi bambu-bambu itu dapat tumbuh?" Tuhan balik bertanya. "Setinggi yang mereka mampu?" aku bertanya.
"Ya." jawabNya "Muliakan Aku dengan pertumbuhan mu, setinggi yang engkau dapat capai.
Lalu aku pergi meninggalkan hutan itu, menyadari bahwa Allah tidak akan
pernah menyerah terhadapku dan Dia juga tidak akan pernah menyerah
terhadap Anda.


Jangan pernah menyesali hidup yang saat ini Anda jalani sekalipun itu
hanya untuk satu hari. Hari-hari yang baik memberikan kebahagiaan;
hari-hari yang kurang baik memberi pengalaman; kedua-duanya memberi arti bagi kehidupan ini.

KASIH SEORANG IBU

Alkisah di sebuah desa, ada seorang ibu yang sudah tua, hidup berdua dengan anak satu-satunya. Suaminya sudah lama meninggal karena sakit, Sang ibu sering kali merasa sedih memikirkan anak satu-satunya.Anaknya mempunyai tabiat yang sangat buruk yaitu suka mencuri, berjudi, mengadu ayam dan banyak lagi

Ibu itu sering menangis meratapi nasibnya yang malang, Namun ia sering berdoa memohon kepada Tuhan: "Tuhan tolong sadarkan anakku yang kusayangi, supaya tidak berbuat dosa lagi

Aku sudah tua dan ingin menyaksikan dia bertobat sebelum aku mati"

Namun semakin lama si anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya, sudah sangat sering ia keluar masuk penjara karena kejahatan yang dilakukannya

Suatu hari ia kembali mencuri di rumah penduduk desa, namun malang dia tertangkap. Kemudian dia dibawa ke hadapan raja utk diadili dan dijatuhi hukuman pancung, pengumuman itu diumumkan ke seluruh desa, hukuman akan dilakukan keesokan haridi depan rakyat desa dan tepat pada saat lonceng berdentang menandakan pukul enam pagi

Berita hukuman itu sampai ke telinga si ibu dia menangis meratapi anak yang dikasihinya dan berdoa berlutut kepada Tuhan "Tuhan ampuni anak hamba, biarlah hamba yang sudah tua ini yang menanggung dosa nya"

Dengan tertatih tatih dia mendatangi raja dan memohon supaya anaknya dibebaskanTapi keputusan sudah bulat, anaknya harus menjalani hukuman

Dengan hati hancur, ibu kembali ke rumah Tak hentinya dia berdoa supaya anaknya diampuni, dan akhirnya dia tertidur karena kelelahan Dan dalam mimpinya dia bertemu dengan Tuhan

Keesokan harinya, ditempat yang sudah ditentukan, rakyat berbondong2 manyaksikan hukuman tersebut Sang algojo sudah siap dengan pancungnya dan anak sudah pasrah dengan nasibnya

Terbayang di matanya wajah ibunya yang sudah tua, dan tanpa terasa ia menangis menyesali perbuatannya. Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba

Sampai waktu yang ditentukan tiba, lonceng belum juga berdentang sudah lewat lima menit dan suasana mulai berisik, akhirnya petugas yang bertugas membunyikan lonceng datang

Ia mengaku heran karena sudah sejak tadi dia menarik tali lonceng tapi suara dentangnya tidak ada. Saat mereka semua sedang bingung, tiba2 dari tali lonceng itu mengalir darah. Darah itu berasal dari atas tempat di mana lonceng itu diikat

Dengan jantung berdebar2 seluruh rakyat menantikan saat beberapa orang naik ke atas menyelidiki sumber darah

Tahukah anda apa yang terjadi?

Ternyata di dalam lonceng ditemui tubuh si ibu tua dengan kepala hancur berlumuran darah, dia memeluk bandul di dalam lonceng yang menyebabkan lonceng tidak berbunyi,dan sebagai gantinya, kepalanya yang terbentur di dinding lonceng

Seluruh orang yang menyaksikan kejadian itu tertunduk dan meneteskan air mata. Sementara si anak meraung raung memeluk tubuh ibunya yang sudah diturunkan. Menyesali dirinya yang selalu menyusahkan ibunya. Ternyata malam sebelumnya si ibu dengan susah payah memanjat ke atas dan mengikat dirinya di lonceng memeluk besi dalam lonceng untuk menghindari hukuman pancung anaknya

Demikianlah sangat jelas kasih seorang ibu utk anaknya Betapapun jahat si anak, ia tetap mengasihi sepenuh hidupnya.

Bukankah hal itu juga yang dilakukan oleh Tuhan kita...sebelum Tuhan mengorbankan DiriNya...dia telah lebih dahulu mengetahui bahwa orang-orang yang akan ditebusNya akan berbuat dosa dan tidak akan menaatinya...tetapi sekalipun Tuhan tahu hal itu...Dia tetap merelakan DiriNya untuk mati dan memberikan hidup yang kekal bagi umatNya...sekalipun kita sering tidak menaatiNya dan sering membuat hatiNya hancur.., dia tetap mengasihi kita...dan AnakNya adalah suatu bukti bahwa dia mengasihi kita yang berdosa ini lebih dari apapun.

KADO BAGI KEHIDUPAN

Usia kita di dunia ini tak panjang. Orang jaman sekarang, tak banyak yang bisa hidup sampai seratus tahun. Dari sedikit waktu itu, sejarah kehidupan kita di dunia terukir. Kelak, orang akan mengenangkan kita setelah mati dengan prestasi-prestasi yang pernah kita capai. Atau bisa pula banyak orang justru akan mengenang keburukan perilaku kita semasa hidup di dunia ini. Semua itu tergantung dari apa yang kita perbuat, apa yang kita lakukan.

Tujuan hidup memang bukan untuk dikenangkan, bukan pula untuk menjadi seorang pahlawan. Tetapi, ketika kita melakukan sesuatu, sekecil apapun untuk kebaikan dunia ini, kebaikan alam, kebaikan sesama manusia, disitulah sejarah kepahlawanan muncul dengan sendirinya. Orang akan mencatat dalam ingatan, bahkan dalam buku-buku yang nantinya menjadi pembelajaran anak-anak cucu kita di sekolah-sekolah. Kepahlawanan akan datang secara otomatis ketika orang berbuat kebaikan yang langka, ketika orang lain tak mampu dan tak mampu mengerjakannya.

Kita, memang tak perlu terlalu berambisi mencari identitas kepahlawanan. Ia akan datang seiring dengan ketulusan sikap serta ketulusan perilaku manusia untuk rela berkorban kepada sesamanya. Naluri kemanusiaan yang akan menuntunnya. Memberikan yang terbaik dari yang ia punyai, entah berupa harta, tenaga maupun pikiran untuk sebuah kehidupan, ya kehidupan di dunia ini.

Seperti yang dilakukan oleh lelaki yang satu ini.

Saya mengenalnya sekitar satu tahun lamanya. Riwayat hidupnya cukup unik. Setamat STM, ia bekerja sebagai tukang las, kemudian tukang cetak. Karena tak punya cukup uang untuk meneruskan kuliah, sementara semangat belajarnya tinggi, ia masuk ke Universitas Terbuka. Dengan ijasah S1 UT, nekat mengikuti program S2 di luar negeri. Empat kali gagal, baru kali kelima berhasil yang kemudian mengantarkannya belajar manajemen pendidikan di Inggris. Sepulang dari sana, bekerja menjadi karyawan sebuah instansi pendidikan, menjadi PNS pada sebuah Universitas. Karena punya cukup kapasitas secara keilmuan, kemudian diperbantukan untuk mengajar di program studi Bisnis Internasional. Sejak itu, nasib hidupnya mulai berubah.

Ia juga suka menulis. Tiga buku pengembangan diri berhasil ditulisanya. Atas pengalaman tersebut, saya dan beberapa kawan dari Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Purwokerto mengundangnya untuk memotivasi anggota untuk lebih giat menulis lagi. Dari forum itulah saya mendapatkan banyak pelajaran darinya. Seperti pendapatnya tentang seorang penulis sukses. Menurutnya, penulis sukses adalah ketika “Hari ini menulis”.

Sementara saya juga terkesan dengan kata-katanya “Berikan sesuatu pada kehidupan, niscaya kehidupan akan mencukupimu”. Kata-kata itu berawal ketika ia sudah menulis banyak artikel di koran lokal sementara satu rupiahpun tak pernah dibayarkan. Ia menerima dengan ikhlas saja, walau sebenarnya tak etis sebuah perusahaan media tak membayarkan honor kepada penulis. Yang ada dalam pikirannya, hanya ilmu yang ia punyai, maka diapun berikan ilmunya kepada orang lain. Alhamdulillah, dengan ketulusan dan itikat baik memberikan sesuatu pada kehidupan, akhirnya dari dua bukunya saja hasilnya melebihi gajinya selama satu tahun. Kini menyusul buku ketiga dan keempatnya.

Diam-diam, saya salut terhadapnya
Dan, mulai berpikir tentang kado terbaik
yang bisa saya berikan bagi kehidupan ini